Selasa, 09 Agustus 2011

alvin ingin setia

Shill, kata anak anak, loe nolak Riko ya ??" tanya Sivia suatu hari."Iya" jawab Shilla singkat tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca.
"Ya ampun shilla, kurangnya Riko tuh apa sih ?? dia mah uah ganteng, tajir, smart, dewasa, perhatian, baik lagi" cerocos Sivia.
Shilla mengangkat wajahnya dan berhenti membaca. Kini dia menatap Sivia, sahabatnya sejak SMA.
"Loe pasti tau alesannya kan Vi ??"
Sivia mengangkat satu alisnya. "Jona ??"
Shilla mengangguk pasti. Sivia mendengus keras.
"Ampunnn deh Shill, mau sampe kapan loe berharap sama orang yang nggapasti gini ?? udah berapa cowo yang loe tolak demi cinta monyet loe itu??"
"Jona bukan sekedar cinta monyet. Tapi dia cinta pertama. . .dan bisa jadi cinta terakhir gue"
"Tapi loe sendiri ngga tau dia ada dimana kan ?? kalian juga lost contact"
"Tapi gue akan berusaha. Gue cinta banget sama dia Vi, gue ngga mintamacem macem, Cuma Jona. Gue pengen bilang sama dia kalo gue cintabanget sama dia. .sebelum . . .sebelum gue mati"
"Hush...!!! Loe ngomong apaan sih ?? jangan ngaco deh Shill"
"Tapi apa lagi yang bisa gue harepin dari penyakit gue ?? udah ngga adalagi kesempatan sembuh. Tinggal menunggu waktu aja. Dan satu satunyapermintaan gue ya Jona"
"Loe beneran ngga tau dia dimana ??"
Shilla menggeleng. "Pas gue naik kelas 9, dia lulus dan nerusin entahdi SMA mana. Tapi gue denger kabar dia pindah ke Malang. Ngga tau benerato engga. Sampe sekarang, gue masih nyari nyari info tentangkeberadaan dia"
"Shilla Shilla. . .andai loe punya foto Jona, gue penasaran gue sama cowo yang udah ngunci hati loe"
Shilla tersenyum kecut. "Itu juga yang gue sesalin, gue belum sempet dapet fotonya"
"Sabar ya Shill"
"Eh Vi, cowo loe jadi balik dari Singapore ??" Shilla mengalihkan percakapan.
"Jadi, ntar loe temenin gue ke airport ya"
"Sippp"
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Hari ini, pacar Sivia, Alvin akan pulang ke Indonesia. Ada rencanakuliah disini karna selama ini Alvin menetap di Spore sekaligus kuliahdisana. Kabarnya Alvin pulang ke Indonesia tak sendiri, ditemanikawannya yang bernama Gabriel. Sivia sendiri sudah mengenal gabriellumayan dekat.
Jam 16.15@AirportSivia bolak balik menatapi jam di tangannya. Gelisah. Menurut Alvin,pesawatnya akan sampai jam 17.00. Shilla dengan setia duduk di sampingSivia.Akhirnya, yang ditunggupun tiba.Dari pintu keluar, tampak 2 orang lelaki yang berjalan kearah siviakala gadis itu melambaikan tangan. Sementara Shilla diam terpakumenatap sosok Alvin. Diam diam dia menoel lengan Sivia.
"Apa Shill ??"
"vi, cowo sipit itu. . ."
"Ya kenapa sama Alvin ??"
"Dialah yang gue cari Vi, dia. . .dia Jona !!"
Sivia bagai tersambar petir mendengarnya. Selama berpacaran denganAlvin, Sivia memang ngga mengenalkan sosok Alvin secara langsung padaShilla. Selain kebiasaan Alvin yang rada susah bergaya di depan kamera,Sivia juga ngga terlalu mempermasalahkan. Begitupun dengan Shilla.
"Cowo loe yang mana Vi ??" tanya Shilla lagi. Oia, Alvin dan Siviaberpacaran baru 3 bulan lalu. Itupun long distance. Mereka dipertemukansaat keluarga Via berlibur di Spore. Saat sedang berjalan jalansendirian, Via nyasar. Untung ada Alvin yang menolongnya. Dan sejaksaat itu, benih benih cinta tumbuh di hati keduanya. Sampai merekajadian, Via ngga memberitahukan nama kekasihnya pada Shilla. Via memangcenderung tertutup, beda dengan shilla.
"Hay Vi" sapa Alvin.
"Eh. .cowo gue ini Shill. . ." Via menunjuk kearah Gabriel. Gabriel tentu kaget bukan kepalang. Terlebih Alvin.
"Hah ??" pekik Gabriel. Sivia mengedipkan satu matanya. Dia berikan secara bergantian ke Alvin lalu ke Gabriel.
"Kenalin Shill, namanya Gabriel. Dan ini sohibnya, Alvin" Sivia memperkenalkan."Gabriel"
"Shilla"
"Alvin"
Shilla terpaku menatap Alvin. Sosok yang ia cari selama ini. Seseorangyang membuat Shilla betah menjomblo, sekarang ada di depan matanya.
Alvin sendiri heran. Kenapa cewe didepannya ngga kunjung menyalami tangannya yang sudah terjulur ?? malah justru melamun ??.
"Ehem . .gue Alvin" tegur Alvin sekali lagi. Kali ini Shilla sadar akan lamunannya.
"Eh iya, gue Shilla, sohibnya Sivia" Shilla bersalaman dengan Alvin begitu lama, hingga Alvin dibuat kembali heran.
Sepulang dari situ pun, Shilla ngga berhenti memandang Alvin sampai cowo itu salting sendiri.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
"Maksud kamu apa sih Vi, ngenalin Gabriel sebagai pacar kamu ??" tanyaAlvin begitu sampai di rumah sivia. Shilla udah pulang dianter sopirVia. Di rumah itu juga ada Gabriel. Tampaknya ia tak enak hati dengansahabatnya akibat pengakuan Sivia tadi.
"Maaf Vin. ."
"Aku ngga butuh maaf, aku butuhnya penjelasan !!" gertak Alvin. Mata Sivia berkaca kaca.
"Sabar Bro, ngadepin ini jangan pake urat" saran gabriel. Alvin menariknafas, berusaha mengontrol emosinya yang memang suka meledak ledak.
"Maafin aku Vi, aku ngga bermaksud bentak kamu" Alvin mendudukkan Sivia di sofa. Kini mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu.
"Aku terpaksa nglakuin ini Vin" lirih Via.
"Iya tapi kenapa ?? semua pasti ada alesannya kan ??"
"Kamu mungkin udah lupa, tapi Shilla adalah temen satu SMP kamu"
"Apa ?? maksud kamu ??"
"Kamu sekolah di SMP Nusa 2 kan ??"
"Iya aku sekolah disana"
"Sekarang aku tanyaa, nama panggilan kamu pas SMP siapa ??"
"Aku?? Pas SMP temen temen panggil aku Jona"
"berarti bener"
"Bener apanya ??"
"Kamu yang selama ini dicari Shilla"
"Vi, aku ngga ngerti"
Sivia menjelaskan sosok Jona dari awal sampai akhir pada Alvin, dan juga Gabriel. Keduanya tampak ternganga.
"Aku ngga nyangka perasaan Shilla begitu besarnya ke aku. Pantes dari tadi dia ngeliatin aku mulu" gumam Alvin.
"Aku mau kamu ngelakuin sesuatu Vin"
"Apa ??"Sivia menarik nafas, berharap Alvin ngga marah padanya. "Aku. . .aku mau kamu jadi pacarnya Shilla"
Alvin tampak shock. "Apa ?? kamu ngga becanda kan ??"
"Ngga ada gunanya becanda disaat kaya gini. Aku serius Vin"
"Taapi aku pacar kamu Vi, itu yang pertama. Yang kedua, aku sama sekalingga mengenal Shilla. Oke dia temen SMPku, tapi aku belum mengenalnyaluar dalem seperti aku mengenal kamu. Kamu tuh kenapa sih minta halkonyol semacam ini ??!!" tanya Alvin ngotot. Mukanya merah menahanmarah.
"cepat atau lambat pasti kamu mengenalnya Vin, dia anak baik. Dan kalaukamu mau memenuhi permintaanku, aku akan sangat berterima kasih ke kamu"
"Lalu gimana sama hubungan kita ??? kamu mau kita putus ??"
Sivia mengangguk pelan. Alvin frustasi. Dia meremas kepalanya.
"Maaf Vin, aku lakuin ini bukan tanpa alasan"
"Terus apa alasan kamu ??"
"Shilla. . .Shilla jauh lebih membutuhkan kamu ketimbang aku. Keduaorang tuanya sudah bercerai sejak dia masih kecil. Dia kesepian. Sampaidia menemukan kamu sewaktu SMP. Shilla sangat mencintai kamu Vin"
"....."
"Aku mohon Vin. . .aku mohon kabulin permintaan aku. Kamu sayang aku kan ??"
Alvin menatap Via tajam. "Mustunya aku yang tanya itu ke kamu. Apa kamu udah ngga sayang lagi sama aku ??"
"Sayang lah Vin, sayang banget"
"Nah udah ada buktinya kan ??? kita saling menyayangi, tapi kenapa kamu meminta hal bodoh kaya gini ??"
"Alvin, cinta tak harus memiliki kan ??"
"Kamu ??!! MUNAFIK !!" tegas alvin lirih sembari bangkit dan meninggalkan rumah Sivia. Sivia menangis. Gabriel mendekatinya.
"Sabar ya Vi, loe juga sih minta yang aneh aneh"
"Tapi gue Cuma mau bikin sahabat gue bahagia. Apa gue salah Yel ?"
"Niat loe bener. Tapi caranya yang salah. Mana ada sih cwe yang relangorbanin cowo yang disayanginya hanya demi orang lain ??? sekarang guetanya, apa Shilla tau loe ngorbanin ini semua hanya demi DIA ?? apa diatau ??"
Sivia menggeleng.
"Ayolah Vi, jangan pendek pikiran loe. Loe bisa membahagiakan Shilla dengan cara lain"
"Tapi kebahagiaan Shilla hanya Alvin Yel, Cuma Alvin yang bikin dia bahagia"
Gabriel mendengus, tampaknya dia putus asa.
"terserah loe sama Alvin aja deh. Gue ngga mau nyampurin urusan yang bukan hak gue. Loe nyabar aja ya" pesen gabriel.
"Thanks ya Yel"
Gabriel kembali tersenyum.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Alvin menatap sivia dengan tatapan dingin. Hari ini dia bertemu denganSivia di café guna membicarakan tentang permintaan Via tempo hari. Kaliini tanpa Gabriel.
"Jadi apa keputusan kamu ??" tanya Sivia pelan.
"Aku sayang kamu melebihi diriku sendiri. Aku akan lakuin apapun demi kamu, demi membuatmu bahagia, bukan demi shilla"
"Jadi ??"
"Aku terima permintaan kamu. Tapi Cuma sekedar jadian. Inget ?? jadian.Ngga lebih. Cuma status. Sampe kapanpun aku ngga akan memperlakukan diaseperti aku memperlakukan kamu"
Sivia menunduk. Rasanya dia ingin protes dengan ucapan alvin barusan.Tapi Via tau diri, bagaimanapun sudah bagus Alvin mau menurutikemauannya yang memang konyol.
"Makasih ya Vin" Alvin mengangguk.
"Udah ngga lagi yang penting kan ?? aku pergi" Alvin hendak beranjak, tapi dia urungkan karna teringat sesuatu.
"Aku minta nomer hapenya Shilla"
Sivia hampir saja lupa, segera ia bongkar kontak di hapenya lalu mengirimkan nomer Shilla ke hape alvin.
"Udah aku kirim ke hape kamu" ujar Via. Alvin hanya mengangguk dankembali meneruskan langkahnya. Sivia memandangi punggung Alvin dengantatapan sayu.
"Maaf Vin. . .aku sayang kamu, tapi Shilla jauh lebih menyayangi kamu. . ." airmata mengalir membasahi pipi Sivia.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
3 bulan kemudian, Shilla dan Alvin jadian. Sivia turut senangmendengarnya. Dalam masa itu, Sivia masih mengakui Gabriel sebagaipacarnya di depan Shilla. Itu perjanjiannya dengan Gabriel. Dan tentuGabriel berusaha menjaga perasaan alvin dengan tidak bermesraan denganSivia di depannya.
Suatu hari, mereka berempat jalan jalan ke timezone. Dengan riang, Shilla menggandeng Alvin. Alvin dengan ogah ogahan mengikuti.
"Vin, main itu yukk !!"
"Gue cape Shill"
"Ahh kamu payah, baru aja main berapa kali udah mundur"
"Ya kalo loe mau main, main aja sendiri, gue nungguin aja"
"Ngga, pokoknya kamu harus temenin aku main"
"Shilla, gue kan udah bilang, gue CAPEK""Ahh ngga asik, pokoknya kudu ikut"
"Shill. . ."
"Ayoo Vin" Shilla menggelayut lengan Alvin manja. Alvin risih. Dari tempatnya berdiri, Via memandangnya dengan tatapan luka.
"itu semua konsekuensi" seru seseorang, yang ngga lain adalah Gabriel. Via menoleh.
"Gue tau, gue tau kalo nantinya gue bakal terluka. Tapi gue udah terima kok Yel. Gue ikhlas"
Gabriel tersenyum sinis. "Yakin loe udah terima ?? ikhlas pula ?? kalosemua orang punya sahabat kaya loe, bisa bisa apapun yang mereka minta,loe mau nurutin dengan embel-embel 'demi kebahagiaan mereka, gueikhlas'. Loe tanya sama hati kecil loe ?? boong banget loe bilang loebaik baik aja liat cowo yang loe sayang jadian sama SAHABAT loe sendiri"
Sivia terpaku. Kata kata Gabriel seperti tamparan keras baginya. Siviaakui dia memang cemburu setiap kali melihat kemesraan Shilla dan Alvindi depan matanya. Tapi apa mau dikata, itu sudah merupakan konsekuensidari permintaannya dulu, seperti kata Gabriel.
Di tempat Alvin.
"Vin, main itu lagi yukk !!" Shilla kembali mengajak Alvin bermain satupermainan lain. Alvin yang memang sudah kelelahan, berusaha kerasmenahan emosi.
"Shill, pliss loe ngertiin gue, gue cape banget. Udah dong. Kapan kapan kan juga bisa" pinta Alvin selembut lembutnya.
"Tapi aku mau main itu sama kamu. Kapan lagi coba ??"
'kapan lagi ?? nih cwe telmi ato apa sih ?? kan masih ada besok, lusa, minggu depan, bulan depan' batin Alvin.
"Aduhh gue beneran cape Shill"
Shilla menatap Alvin. "Apa salah kalo aku minta satu itu aja ke kamu ??"
Hati Alvin miris juga dengan tatapan Shilla yang begitu memohon.Akhirnya dia turuti juga permintaan Shilla. Tampaknya Alvin mulaimembenci kata 'permintaan'.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sudah berjalan 7 bulan. Sejak berpacaran dengan Shilla, Alvin harusmenyediakan kesabaran ekstra untuk menghadapi gadis itu. Pasalnya,Shilla tipe gadis ngotot yang segala permintaannya kudu dituruti. Kaloengga dia bakal maksa terus. Entah sampai kapan kesabaran Alvinbertahan. Yang jelas, tingkat kesabarannya mulai mengendur.
Suatu hari, Shilla berkunjung ke rumah Alvin. Kebetulan Alvin sedangpergi sebentar dengan Gabriel. Rumah Alvin sepi. Hanya ad seorangpembantu dan seorang satpam. Orangtua Alvin bekerja diluar negeri.
Entah ada dorongan apa, Shilla berjalan ke kamar Alvin yang terletak di lantai bawah. Shilla tau dari pembantu Alvin.
Kamar Alvin rapi sekali. Shilla memasuki kamar itu, menatapi figurafigura yang terpajang di dinding. Yang isinya foto laki laki berwajahoriental yang diyakini Shilla sebagai Alvin.
Mata Shilla tertarik pada satu benda yang terletak di atar kasur Alvin.Sebuah boneka teddy bear berukuran sedang. Di leher boneka itu,terdapat kalung berbandul inisial 'SA'. Shilla tersenyum.Dibayangannya, boneka beserta kalung itu akan diberikan Alvin untuknya.Terbukti dari inisial kalung itu. S pasti Shilla. A itu Alvin. Karnakhayalan itulah, Shilla meraih boneka itu dan mengalungkan kalungtersebut ke lehernya. Lalu dia kembali ke ruang tamu, menanti Alvin.
Ngga lama, Alvin pulang. Dibuat terkejut ketika melihat kalung yang ada di leher Shilla.
"Dapet darimana kalung itu ??" tanya Alvin dingin.
"Dari kamar kamu. Aku ambil dari teddy bear ini. Makasih ya Vin, akusukaa banget" seru Shilla senang. Muka Alvin merah karna marah.
"Kembaliin kalung sama boneka itu ??!!" bentak Alvin.
"Loh kenapa ?? bukannya ini semua buat aku ??"
"he. .loe tuh GR banget ya, balikin ngga !!"
"Ngga !! aku udah suka sama benda ini. Dan setiap barang yang aku suka,ngga akan ada yang bisa ngambil dari aku" Shilla bersikeras. TanganAlvin mengepal.
"Shill, lepas ngga !! gue ngga mau main kasar sama loe !!"
"Ngga Vin !!"
"SHILLA LEPASSS !!! BARANG ITU BUKAN UNTUK LOE TAPI UNTUK SIVIA !!"bentak Alvin begitu keranya hingga Shilla tgerlonjak. Saat bersamaan,muncul sivia dan Gabriel dari balik pintu.
"Sivia ?? apa maksud kamu Vin ??"
"Saatnya gue bilang sejujurnya ke elo, kalo Sivia itu adalah. . . "
BRUKKK. . .belum sampai Alvin berkata lagi, tubuh Shilla ambruk. Sivia langsung menghambur ke tubuh Shilla.
"Kamu tuh apa apaan sih Vin ?? liat akibat perbuatan kamu ??!! Shillapingsan. Kalo sampe ada apa apa sama shilla, kamu adalah oranng pertamayang aku salahin !! yel, bantu aku bawa Shilla ke rumah sakit" pintasivia. Gabriel dengan sigap membopong badan Shilla. Sementara Viakeluar memanggil ambulance. Alvin diam di tempatnya.Ngga tau harusberbuat apa. Tadi dia bener bener marah ketika liat kalung dan bonekaitu ada pada Shilla. Kedua benda itu adalah oleh oleh yang sengaja akanAlvin berikan untuk Sivia sewaktu pulang dari Spore. Inisial SA dikalung itu adalah Sivia Alvin, bukan Shilla Alvin.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sivia mondar mandir gelisah di depan ruang ICU. Gabriel dan Alvin terduduk lesu di kursi. Ngga lama, dokter keluar.
"Dok, gimana keadaan temen saya ??" tanya Sivia Dokter tersebutmenggelengkan kepalanya. Sivia bertambah panik. Gabriel dan Alvinbangkit dari duduk mereka.
"Kanker tulang yang dialami pasien sudah menyebar ke kakinya. Itu menyebabkan. . ."
"menyebabkan apa dok ??"
"kakinya harus diamputasi. Itu cara terbaik supaya kanker tidakmenyebar ke anggota badan lain" terang dokter. Sivia langsung shockmendengar pengakuan dokter.
"Tolong pikirkan kembali, operasi ini sangat penting bagi keselamatanpasien. Saya tunggu jawabannya di ruangan saya. Ingat, waktu kami tidakbanyak" ujar dokter sembari meninggalkan Sivia. Airmata Sivia mengalirderas.
"Jadi Shilla. . ." lirih Alvin.
"ya, selama ini Shilla menderita penyakit yang sangat parah. Dan ituyang membuat aku berusaha mati matian untuk membuatnya bahagia.Sekarang kamu tau alesannya kan Vin ??" tutur Sivia. Alvin sedikitmenyesal dengan apa yang dia ucapkan tadi pada shilla. Dia sudahberlaku sangat kasar pada gadis yang mencintainya sepenuh hati.
"maaf Vi. . ."
"jangan minta maaf ke aku Vin, minta maaflah ke shilla. Aku ngga maunyalahin siapapun atas kejadian ini" ucap Via lemah. Alvin menunduk,dia sangat menyesal.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Operassi dilaksanakan. Via ngga henti hentinya menangis. Ngga bisadibayangkannya jika nanti Shilla mengetahui dirinya telah tak memilikikedua kakinya. Kaki Shilla diamputasi sebatas lutut. Shilla juga sudahmelewati masa masa kritisnya. Kini ia sudah dirawat di ruang biasa.Hanya saja gadis itu masish belum sadar juga.
"Maafin gue Shill. . ." lirih Sivia. Gabriel yang juga ada di kamarrawat Shilla, turut bersedih mendengar isakan Sivia. sedangkan Alvinbelum datang.
"Loe ngga boleh ngomong kaya gitu. Kata loe kemaren loe ngga maunyalahin siapapun ?? jadi ya jangan salahin diri loe juga" hiburGabriel. Dia tawarkan pundaknya untuk tempat bersandar Via menumpahkanairmatanya.
"Gue Cuma ngga habis pikir kenapa sampe kaya gini Yel, gimana kaloShilla sampe tau kondisinya sekarang ?? gimana kalo dia tau, kalo cowogue yang sebenernya bukan loe, tapi Alvin. Dan . . .dan gimana kalosampe dia tau, bahwa gue lah yang maksa Alvin buat jadian sama Shilla.Dia pasti bakal sakit banget yel, dan bisa jadi Shilla ngga mau kenalgue selamanya. . .gue bingung Yel, Tuhan bener bener menempatkan gue diposisi yang sulit"isak Via. Gabriel membiarkan sivia menangis sepuasnyadipundaknya.
Tanpa keduanya sadari, Alvin menatap mereka bedaub dari kaca bening dipintu kamar rawat. Alvin memandang Sivia dan Gabriel dengan tatapancemburu. . .sekaligus ikhlas.
"Kalo emang Gabriel lebih pantes buat kamu, aku rela Vi. . .sekarangsaatnya aku yang berkorban" gumam Alvin. Dia emang udah berniat nebuskesalahannya sama Shilla dan bertekad untuk belajar mencintai gadis itu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
"Jo. . .Jona. . hh" rintih Shilla pelan, nyaris seperti bisikan. Siviayang tertidur di samping ranjang Shilla, terusik suara lirih yangdikeluarkan Shilla.
"Shilla ?? Shill loe udah sadar ??" Sivia menoleh kearah Gabriel dan alvin yang tertidur di sofa.
"Yel, Vin, shilla udah sadar" seru Via kegirangan. Gabriel berlarikeluar memanggil dokter. Sementara Alvin mendekati Shilla, dipegangnyatangan gadis itu.
"Maafin aku ya shill" ucap Alvin lembut. Sivia menatap Alvin takpercaya. Tapi dia senang karna perilaku Alvin sudah mulai mencair.
Shilla tersenyum lemah. "Aku yang seharusnya minta maaf Vin"
"Aku janji akan selalu jagain kamu Shill" janji Alvin. Shilla masih tersenyum kala dokter bawaan Gabriel memasuki ruangan itu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Shilla terduduk lesu di depan kolam. Tatapannya kosong. Dia udah keluardari rumah sakit sejak seminggu yang lalu. Saat mengetahui dirinya takmemiliki kaki, Shilla sempet pingsan saking shock nya. Untung ada Alvinyang setia menemani serta menghiburnya.
"Shill, kamu belum makan kan ?? makan yukk !! nih, aku bawain buburayam" ucap Alvin. Shilla menoleh. Tanpa kehadiran Alvin, mungkin Shillasudah bunuh diri saking tak kuatnya.
"Aku ngga laper Vin"
"Eh jangan gitu. Ntar kamu sakit. Kamu ngga mau bikin kami semua repot kan ??"
"Sekarang pun aku udah merepotkan kamu dan yang lain"
"Udahlah ngga usah ngomong ngawur kaya gitu. Yukk ke dalem..udaradisini ngga cocok buat kamu. Nanti kamu masuk angin" tanpa menunggujawaban Shilla, Alvin mendorong kursi roda 'pacarnya' memasuki rumah.
Perhatian yang diberikan Alvin membuat Shilla senang, sekaligus membuatSivia cemburu. Sivia memang masih menyukai Alvin. Tapi sekeras mungkindia akan sembuyikan demi menjaga perasaan shilla. Dia ngga mau membuatShilla tambah terpuruk.
"Vin, aku ngantuk. Pengen tidur" kata Shilla beberapa saat setelah menyelesaikan makan siangnyaa.
"yaudah aku anter kamu ke kamar" Alvin mendorong kursi roda Shilla kekamarnya. Sampai disana, dia membopong tubuh gadis itu ke tempat tidur.
"Hikss. . ."
"Loh, kenapa nangis Shill ?? aku ada salah lagi sama kamu ??" Alvin panik ketika melihat Shilla menangis.
Shilla menggeleng. "Aku nangis gara gara kebodohanku sendiri"
"Kenapa ??"
"Bisa bisanya aku merebut kamu dari Sivia, sahabat aku sendiri"
Alvin terbelalak. "Kamu. . .kamu tau dari mana ??""Aku tau semuanya Vin, waktu aku komaa, samar samar aku dengerpercakapan Sivia dan Gabriel di kamar rawatku. Percakapan merekamenjelaskan semuanya Vin, tentang permintaan sivia ke kamu untukmenjagaku. Aku bener bener benr benci sama diri aku sendiri" isakShilla tak tertahan.
"Shill, aku udah putus dari Sivia. Dan sekarang, saat ini aku mau belajar mencintai kamu. Sama seperti aku menyayangi Sivia"
"Tapi tetep aja aku ngga pantes. . ."
"Sstttt. . ." Alvin menempelkan telunjuknya di bibir Shilla. PerlahanAlvin keluarkan satu benda di sakunya. Seuntai kalung yang dulu sempatmembuat Alvin benar benar marah ketika Shilla mengenakan kalung itu.
"Semoga kamuj senang dengan kalung ini" Alvin mengalungkannya di leher Shilla.
"Buat aku vin ??"
Alvin mengangguk dan tersenyum.
"Hatiku Cuma ada satu. Aku ngga bisa menyayangi kamu dan Siviasekaligus. Makanya aku bertekad untuk membuang perasaanku ke Sivia.Kamu, jauh lebih membutuhkan aku" Alvin meyakinkan.
Shilla kembali menangis. Terharu. "Aku egois ya Vin ??"
Alvin menggeleng. Ngga lama, pintu kamar Shilla terbuka dari luar, Gabriel dan Sivia muncul di baliknya.
"hay Shill. . .hay. . .Vin" sapa Via kikuk.
"kebetulan loe dateng, sini Vi duduk di samping Alvin. Ada yang mau gue sampein ke kalian berdua" pinta Shilla. Sivia menurut.
"Maaf karna gue udah jadi pihak ketiga diantara kalian. Gue ngga pantessama Alvin. Karna sesungguhnya, hati Alvin Cuma buat loe Vi" kataShilla.
"Apaan sih loe Shill ??"
"Gue seneng banget Vi, karna gue udah berhasil nemuin cinta pertamague. Dan bener kan kata gue, Alvin cinta pertama dan bakal jadi cintaterakhir gue" sambungnya. Shilla meraaih tangan Alvin, dan tangan Via.Ditumpuknya tangan mereka berdua. Shilla menempatkan tangannya diatastangan tangan tersebut.
"Gue ngga akan merebut apa yang bukan milik gue. Kembalilah, gue mau ngembaliin milik loe Vi"
"Tapi Shill. . ."
"Gue bahagia banget udah bisa memiliki Alvin, walau hanya sesaat. Dengan ini gue bosa [ergi dengan tenang"
"Shill jangan ngomong gitu ah" protes Alvin. Shilla hanya tersenyum.
"Sekarang kalian balikan lagi ya ? aku ngga akan bisa pergi kalo kalianngga akur lagi. Aku sayang sama kalian bedaub. Dan aku ingin menyatukankembali dua orang yang kusayangi" tutur Shilla. Alvin dan Sivia salingberpandangan.
Perasaan senang membuncah di dada Shilla.
"Ada satu lagi permintaan gue" ujarnya.
"Apa ??"
"Ijinin aaku bawa kalung ini Vin, ijinin aku membawa salah satu barangberharga ini" Shilla memeluk bandul kalung yang diberikan Alvin.
"Ya Shill, kenapa engga??"
"Makasih ya Vin, Vi, dan juga loe Yel" Shilla melirik gabriel.
"Loe harus kuat Shill, loe pasti bisa" gabriel menguatkan.
Shilla masih berusaha tersenyum dibalik rasa sakit yang menyiksanya.Dia sampai meremas tangan Alvin saking sakitnya. Darah segar mengalirdari hidungnya. Sivia dan Alvin panik.
"Shill, gue panggil dokter ya" Sivia hendak bangkit menelpon dokter, tapi keburu di tarik Shilla.
"Ngga perlu Vi, gue Cuma pengen abisin saat terakhir gue sama kaliansemua. Gue. . .gue sayang kalian..." Shilla memejamkan matanya. Tenang.Alvin mengusap airmata Shilla yang belum mengering, Shilla takbereaksi. Alvin menempelkan telunjuknya ke hidung Shilla, memastikanapakah ada kerja pernafasan disana atau engga.
"gimana Vin ??" tanya Sivia panik.
Alvin menunduk, dia menggeleng pelan. Airmata mengalir di pipinya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Aku memang tak bisa memberikan sepenuhnya hatiku untuk kamu Shill,Tapi aku sangat berterimakasih padamu karna kamu telah memberikan sepenuhnya hatimu,Untuk mencintaiku. . .Semoga kamu tenang di alam sama Shill. . .
Aku tak mampu menyaakitimu..Aku tak sanggup untuk menduakanmu..
Ku tak mungkin mencintaimu..Karna hatiku tlah dimiliki diaKau tak mungkin memiliki, ku sepenuh hatiku..Ku hanya ingin setia

Shill, kata anak anak, loe nolak Riko ya ??" tanya Sivia suatu hari."Iya" jawab Shilla singkat tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca.
"Ya ampun shilla, kurangnya Riko tuh apa sih ?? dia mah uah ganteng, tajir, smart, dewasa, perhatian, baik lagi" cerocos Sivia.
Shilla mengangkat wajahnya dan berhenti membaca. Kini dia menatap Sivia, sahabatnya sejak SMA.
"Loe pasti tau alesannya kan Vi ??"
Sivia mengangkat satu alisnya. "Jona ??"
Shilla mengangguk pasti. Sivia mendengus keras.
"Ampunnn deh Shill, mau sampe kapan loe berharap sama orang yang nggapasti gini ?? udah berapa cowo yang loe tolak demi cinta monyet loe itu??"
"Jona bukan sekedar cinta monyet. Tapi dia cinta pertama. . .dan bisa jadi cinta terakhir gue"
"Tapi loe sendiri ngga tau dia ada dimana kan ?? kalian juga lost contact"
"Tapi gue akan berusaha. Gue cinta banget sama dia Vi, gue ngga mintamacem macem, Cuma Jona. Gue pengen bilang sama dia kalo gue cintabanget sama dia. .sebelum . . .sebelum gue mati"
"Hush...!!! Loe ngomong apaan sih ?? jangan ngaco deh Shill"
"Tapi apa lagi yang bisa gue harepin dari penyakit gue ?? udah ngga adalagi kesempatan sembuh. Tinggal menunggu waktu aja. Dan satu satunyapermintaan gue ya Jona"
"Loe beneran ngga tau dia dimana ??"
Shilla menggeleng. "Pas gue naik kelas 9, dia lulus dan nerusin entahdi SMA mana. Tapi gue denger kabar dia pindah ke Malang. Ngga tau benerato engga. Sampe sekarang, gue masih nyari nyari info tentangkeberadaan dia"
"Shilla Shilla. . .andai loe punya foto Jona, gue penasaran gue sama cowo yang udah ngunci hati loe"
Shilla tersenyum kecut. "Itu juga yang gue sesalin, gue belum sempet dapet fotonya"
"Sabar ya Shill"
"Eh Vi, cowo loe jadi balik dari Singapore ??" Shilla mengalihkan percakapan.
"Jadi, ntar loe temenin gue ke airport ya"
"Sippp"
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Hari ini, pacar Sivia, Alvin akan pulang ke Indonesia. Ada rencanakuliah disini karna selama ini Alvin menetap di Spore sekaligus kuliahdisana. Kabarnya Alvin pulang ke Indonesia tak sendiri, ditemanikawannya yang bernama Gabriel. Sivia sendiri sudah mengenal gabriellumayan dekat.
Jam 16.15@AirportSivia bolak balik menatapi jam di tangannya. Gelisah. Menurut Alvin,pesawatnya akan sampai jam 17.00. Shilla dengan setia duduk di sampingSivia.Akhirnya, yang ditunggupun tiba.Dari pintu keluar, tampak 2 orang lelaki yang berjalan kearah siviakala gadis itu melambaikan tangan. Sementara Shilla diam terpakumenatap sosok Alvin. Diam diam dia menoel lengan Sivia.
"Apa Shill ??"
"vi, cowo sipit itu. . ."
"Ya kenapa sama Alvin ??"
"Dialah yang gue cari Vi, dia. . .dia Jona !!"
Sivia bagai tersambar petir mendengarnya. Selama berpacaran denganAlvin, Sivia memang ngga mengenalkan sosok Alvin secara langsung padaShilla. Selain kebiasaan Alvin yang rada susah bergaya di depan kamera,Sivia juga ngga terlalu mempermasalahkan. Begitupun dengan Shilla.
"Cowo loe yang mana Vi ??" tanya Shilla lagi. Oia, Alvin dan Siviaberpacaran baru 3 bulan lalu. Itupun long distance. Mereka dipertemukansaat keluarga Via berlibur di Spore. Saat sedang berjalan jalansendirian, Via nyasar. Untung ada Alvin yang menolongnya. Dan sejaksaat itu, benih benih cinta tumbuh di hati keduanya. Sampai merekajadian, Via ngga memberitahukan nama kekasihnya pada Shilla. Via memangcenderung tertutup, beda dengan shilla.
"Hay Vi" sapa Alvin.
"Eh. .cowo gue ini Shill. . ." Via menunjuk kearah Gabriel. Gabriel tentu kaget bukan kepalang. Terlebih Alvin.
"Hah ??" pekik Gabriel. Sivia mengedipkan satu matanya. Dia berikan secara bergantian ke Alvin lalu ke Gabriel.
"Kenalin Shill, namanya Gabriel. Dan ini sohibnya, Alvin" Sivia memperkenalkan."Gabriel"
"Shilla"
"Alvin"
Shilla terpaku menatap Alvin. Sosok yang ia cari selama ini. Seseorangyang membuat Shilla betah menjomblo, sekarang ada di depan matanya.
Alvin sendiri heran. Kenapa cewe didepannya ngga kunjung menyalami tangannya yang sudah terjulur ?? malah justru melamun ??.
"Ehem . .gue Alvin" tegur Alvin sekali lagi. Kali ini Shilla sadar akan lamunannya.
"Eh iya, gue Shilla, sohibnya Sivia" Shilla bersalaman dengan Alvin begitu lama, hingga Alvin dibuat kembali heran.
Sepulang dari situ pun, Shilla ngga berhenti memandang Alvin sampai cowo itu salting sendiri.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
"Maksud kamu apa sih Vi, ngenalin Gabriel sebagai pacar kamu ??" tanyaAlvin begitu sampai di rumah sivia. Shilla udah pulang dianter sopirVia. Di rumah itu juga ada Gabriel. Tampaknya ia tak enak hati dengansahabatnya akibat pengakuan Sivia tadi.
"Maaf Vin. ."
"Aku ngga butuh maaf, aku butuhnya penjelasan !!" gertak Alvin. Mata Sivia berkaca kaca.
"Sabar Bro, ngadepin ini jangan pake urat" saran gabriel. Alvin menariknafas, berusaha mengontrol emosinya yang memang suka meledak ledak.
"Maafin aku Vi, aku ngga bermaksud bentak kamu" Alvin mendudukkan Sivia di sofa. Kini mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu.
"Aku terpaksa nglakuin ini Vin" lirih Via.
"Iya tapi kenapa ?? semua pasti ada alesannya kan ??"
"Kamu mungkin udah lupa, tapi Shilla adalah temen satu SMP kamu"
"Apa ?? maksud kamu ??"
"Kamu sekolah di SMP Nusa 2 kan ??"
"Iya aku sekolah disana"
"Sekarang aku tanyaa, nama panggilan kamu pas SMP siapa ??"
"Aku?? Pas SMP temen temen panggil aku Jona"
"berarti bener"
"Bener apanya ??"
"Kamu yang selama ini dicari Shilla"
"Vi, aku ngga ngerti"
Sivia menjelaskan sosok Jona dari awal sampai akhir pada Alvin, dan juga Gabriel. Keduanya tampak ternganga.
"Aku ngga nyangka perasaan Shilla begitu besarnya ke aku. Pantes dari tadi dia ngeliatin aku mulu" gumam Alvin.
"Aku mau kamu ngelakuin sesuatu Vin"
"Apa ??"Sivia menarik nafas, berharap Alvin ngga marah padanya. "Aku. . .aku mau kamu jadi pacarnya Shilla"
Alvin tampak shock. "Apa ?? kamu ngga becanda kan ??"
"Ngga ada gunanya becanda disaat kaya gini. Aku serius Vin"
"Taapi aku pacar kamu Vi, itu yang pertama. Yang kedua, aku sama sekalingga mengenal Shilla. Oke dia temen SMPku, tapi aku belum mengenalnyaluar dalem seperti aku mengenal kamu. Kamu tuh kenapa sih minta halkonyol semacam ini ??!!" tanya Alvin ngotot. Mukanya merah menahanmarah.
"cepat atau lambat pasti kamu mengenalnya Vin, dia anak baik. Dan kalaukamu mau memenuhi permintaanku, aku akan sangat berterima kasih ke kamu"
"Lalu gimana sama hubungan kita ??? kamu mau kita putus ??"
Sivia mengangguk pelan. Alvin frustasi. Dia meremas kepalanya.
"Maaf Vin, aku lakuin ini bukan tanpa alasan"
"Terus apa alasan kamu ??"
"Shilla. . .Shilla jauh lebih membutuhkan kamu ketimbang aku. Keduaorang tuanya sudah bercerai sejak dia masih kecil. Dia kesepian. Sampaidia menemukan kamu sewaktu SMP. Shilla sangat mencintai kamu Vin"
"....."
"Aku mohon Vin. . .aku mohon kabulin permintaan aku. Kamu sayang aku kan ??"
Alvin menatap Via tajam. "Mustunya aku yang tanya itu ke kamu. Apa kamu udah ngga sayang lagi sama aku ??"
"Sayang lah Vin, sayang banget"
"Nah udah ada buktinya kan ??? kita saling menyayangi, tapi kenapa kamu meminta hal bodoh kaya gini ??"
"Alvin, cinta tak harus memiliki kan ??"
"Kamu ??!! MUNAFIK !!" tegas alvin lirih sembari bangkit dan meninggalkan rumah Sivia. Sivia menangis. Gabriel mendekatinya.
"Sabar ya Vi, loe juga sih minta yang aneh aneh"
"Tapi gue Cuma mau bikin sahabat gue bahagia. Apa gue salah Yel ?"
"Niat loe bener. Tapi caranya yang salah. Mana ada sih cwe yang relangorbanin cowo yang disayanginya hanya demi orang lain ??? sekarang guetanya, apa Shilla tau loe ngorbanin ini semua hanya demi DIA ?? apa diatau ??"
Sivia menggeleng.
"Ayolah Vi, jangan pendek pikiran loe. Loe bisa membahagiakan Shilla dengan cara lain"
"Tapi kebahagiaan Shilla hanya Alvin Yel, Cuma Alvin yang bikin dia bahagia"
Gabriel mendengus, tampaknya dia putus asa.
"terserah loe sama Alvin aja deh. Gue ngga mau nyampurin urusan yang bukan hak gue. Loe nyabar aja ya" pesen gabriel.
"Thanks ya Yel"
Gabriel kembali tersenyum.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Alvin menatap sivia dengan tatapan dingin. Hari ini dia bertemu denganSivia di café guna membicarakan tentang permintaan Via tempo hari. Kaliini tanpa Gabriel.
"Jadi apa keputusan kamu ??" tanya Sivia pelan.
"Aku sayang kamu melebihi diriku sendiri. Aku akan lakuin apapun demi kamu, demi membuatmu bahagia, bukan demi shilla"
"Jadi ??"
"Aku terima permintaan kamu. Tapi Cuma sekedar jadian. Inget ?? jadian.Ngga lebih. Cuma status. Sampe kapanpun aku ngga akan memperlakukan diaseperti aku memperlakukan kamu"
Sivia menunduk. Rasanya dia ingin protes dengan ucapan alvin barusan.Tapi Via tau diri, bagaimanapun sudah bagus Alvin mau menurutikemauannya yang memang konyol.
"Makasih ya Vin" Alvin mengangguk.
"Udah ngga lagi yang penting kan ?? aku pergi" Alvin hendak beranjak, tapi dia urungkan karna teringat sesuatu.
"Aku minta nomer hapenya Shilla"
Sivia hampir saja lupa, segera ia bongkar kontak di hapenya lalu mengirimkan nomer Shilla ke hape alvin.
"Udah aku kirim ke hape kamu" ujar Via. Alvin hanya mengangguk dankembali meneruskan langkahnya. Sivia memandangi punggung Alvin dengantatapan sayu.
"Maaf Vin. . .aku sayang kamu, tapi Shilla jauh lebih menyayangi kamu. . ." airmata mengalir membasahi pipi Sivia.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
3 bulan kemudian, Shilla dan Alvin jadian. Sivia turut senangmendengarnya. Dalam masa itu, Sivia masih mengakui Gabriel sebagaipacarnya di depan Shilla. Itu perjanjiannya dengan Gabriel. Dan tentuGabriel berusaha menjaga perasaan alvin dengan tidak bermesraan denganSivia di depannya.
Suatu hari, mereka berempat jalan jalan ke timezone. Dengan riang, Shilla menggandeng Alvin. Alvin dengan ogah ogahan mengikuti.
"Vin, main itu yukk !!"
"Gue cape Shill"
"Ahh kamu payah, baru aja main berapa kali udah mundur"
"Ya kalo loe mau main, main aja sendiri, gue nungguin aja"
"Ngga, pokoknya kamu harus temenin aku main"
"Shilla, gue kan udah bilang, gue CAPEK""Ahh ngga asik, pokoknya kudu ikut"
"Shill. . ."
"Ayoo Vin" Shilla menggelayut lengan Alvin manja. Alvin risih. Dari tempatnya berdiri, Via memandangnya dengan tatapan luka.
"itu semua konsekuensi" seru seseorang, yang ngga lain adalah Gabriel. Via menoleh.
"Gue tau, gue tau kalo nantinya gue bakal terluka. Tapi gue udah terima kok Yel. Gue ikhlas"
Gabriel tersenyum sinis. "Yakin loe udah terima ?? ikhlas pula ?? kalosemua orang punya sahabat kaya loe, bisa bisa apapun yang mereka minta,loe mau nurutin dengan embel-embel 'demi kebahagiaan mereka, gueikhlas'. Loe tanya sama hati kecil loe ?? boong banget loe bilang loebaik baik aja liat cowo yang loe sayang jadian sama SAHABAT loe sendiri"
Sivia terpaku. Kata kata Gabriel seperti tamparan keras baginya. Siviaakui dia memang cemburu setiap kali melihat kemesraan Shilla dan Alvindi depan matanya. Tapi apa mau dikata, itu sudah merupakan konsekuensidari permintaannya dulu, seperti kata Gabriel.
Di tempat Alvin.
"Vin, main itu lagi yukk !!" Shilla kembali mengajak Alvin bermain satupermainan lain. Alvin yang memang sudah kelelahan, berusaha kerasmenahan emosi.
"Shill, pliss loe ngertiin gue, gue cape banget. Udah dong. Kapan kapan kan juga bisa" pinta Alvin selembut lembutnya.
"Tapi aku mau main itu sama kamu. Kapan lagi coba ??"
'kapan lagi ?? nih cwe telmi ato apa sih ?? kan masih ada besok, lusa, minggu depan, bulan depan' batin Alvin.
"Aduhh gue beneran cape Shill"
Shilla menatap Alvin. "Apa salah kalo aku minta satu itu aja ke kamu ??"
Hati Alvin miris juga dengan tatapan Shilla yang begitu memohon.Akhirnya dia turuti juga permintaan Shilla. Tampaknya Alvin mulaimembenci kata 'permintaan'.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sudah berjalan 7 bulan. Sejak berpacaran dengan Shilla, Alvin harusmenyediakan kesabaran ekstra untuk menghadapi gadis itu. Pasalnya,Shilla tipe gadis ngotot yang segala permintaannya kudu dituruti. Kaloengga dia bakal maksa terus. Entah sampai kapan kesabaran Alvinbertahan. Yang jelas, tingkat kesabarannya mulai mengendur.
Suatu hari, Shilla berkunjung ke rumah Alvin. Kebetulan Alvin sedangpergi sebentar dengan Gabriel. Rumah Alvin sepi. Hanya ad seorangpembantu dan seorang satpam. Orangtua Alvin bekerja diluar negeri.
Entah ada dorongan apa, Shilla berjalan ke kamar Alvin yang terletak di lantai bawah. Shilla tau dari pembantu Alvin.
Kamar Alvin rapi sekali. Shilla memasuki kamar itu, menatapi figurafigura yang terpajang di dinding. Yang isinya foto laki laki berwajahoriental yang diyakini Shilla sebagai Alvin.
Mata Shilla tertarik pada satu benda yang terletak di atar kasur Alvin.Sebuah boneka teddy bear berukuran sedang. Di leher boneka itu,terdapat kalung berbandul inisial 'SA'. Shilla tersenyum.Dibayangannya, boneka beserta kalung itu akan diberikan Alvin untuknya.Terbukti dari inisial kalung itu. S pasti Shilla. A itu Alvin. Karnakhayalan itulah, Shilla meraih boneka itu dan mengalungkan kalungtersebut ke lehernya. Lalu dia kembali ke ruang tamu, menanti Alvin.
Ngga lama, Alvin pulang. Dibuat terkejut ketika melihat kalung yang ada di leher Shilla.
"Dapet darimana kalung itu ??" tanya Alvin dingin.
"Dari kamar kamu. Aku ambil dari teddy bear ini. Makasih ya Vin, akusukaa banget" seru Shilla senang. Muka Alvin merah karna marah.
"Kembaliin kalung sama boneka itu ??!!" bentak Alvin.
"Loh kenapa ?? bukannya ini semua buat aku ??"
"he. .loe tuh GR banget ya, balikin ngga !!"
"Ngga !! aku udah suka sama benda ini. Dan setiap barang yang aku suka,ngga akan ada yang bisa ngambil dari aku" Shilla bersikeras. TanganAlvin mengepal.
"Shill, lepas ngga !! gue ngga mau main kasar sama loe !!"
"Ngga Vin !!"
"SHILLA LEPASSS !!! BARANG ITU BUKAN UNTUK LOE TAPI UNTUK SIVIA !!"bentak Alvin begitu keranya hingga Shilla tgerlonjak. Saat bersamaan,muncul sivia dan Gabriel dari balik pintu.
"Sivia ?? apa maksud kamu Vin ??"
"Saatnya gue bilang sejujurnya ke elo, kalo Sivia itu adalah. . . "
BRUKKK. . .belum sampai Alvin berkata lagi, tubuh Shilla ambruk. Sivia langsung menghambur ke tubuh Shilla.
"Kamu tuh apa apaan sih Vin ?? liat akibat perbuatan kamu ??!! Shillapingsan. Kalo sampe ada apa apa sama shilla, kamu adalah oranng pertamayang aku salahin !! yel, bantu aku bawa Shilla ke rumah sakit" pintasivia. Gabriel dengan sigap membopong badan Shilla. Sementara Viakeluar memanggil ambulance. Alvin diam di tempatnya.Ngga tau harusberbuat apa. Tadi dia bener bener marah ketika liat kalung dan bonekaitu ada pada Shilla. Kedua benda itu adalah oleh oleh yang sengaja akanAlvin berikan untuk Sivia sewaktu pulang dari Spore. Inisial SA dikalung itu adalah Sivia Alvin, bukan Shilla Alvin.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sivia mondar mandir gelisah di depan ruang ICU. Gabriel dan Alvin terduduk lesu di kursi. Ngga lama, dokter keluar.
"Dok, gimana keadaan temen saya ??" tanya Sivia Dokter tersebutmenggelengkan kepalanya. Sivia bertambah panik. Gabriel dan Alvinbangkit dari duduk mereka.
"Kanker tulang yang dialami pasien sudah menyebar ke kakinya. Itu menyebabkan. . ."
"menyebabkan apa dok ??"
"kakinya harus diamputasi. Itu cara terbaik supaya kanker tidakmenyebar ke anggota badan lain" terang dokter. Sivia langsung shockmendengar pengakuan dokter.
"Tolong pikirkan kembali, operasi ini sangat penting bagi keselamatanpasien. Saya tunggu jawabannya di ruangan saya. Ingat, waktu kami tidakbanyak" ujar dokter sembari meninggalkan Sivia. Airmata Sivia mengalirderas.
"Jadi Shilla. . ." lirih Alvin.
"ya, selama ini Shilla menderita penyakit yang sangat parah. Dan ituyang membuat aku berusaha mati matian untuk membuatnya bahagia.Sekarang kamu tau alesannya kan Vin ??" tutur Sivia. Alvin sedikitmenyesal dengan apa yang dia ucapkan tadi pada shilla. Dia sudahberlaku sangat kasar pada gadis yang mencintainya sepenuh hati.
"maaf Vi. . ."
"jangan minta maaf ke aku Vin, minta maaflah ke shilla. Aku ngga maunyalahin siapapun atas kejadian ini" ucap Via lemah. Alvin menunduk,dia sangat menyesal.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Operassi dilaksanakan. Via ngga henti hentinya menangis. Ngga bisadibayangkannya jika nanti Shilla mengetahui dirinya telah tak memilikikedua kakinya. Kaki Shilla diamputasi sebatas lutut. Shilla juga sudahmelewati masa masa kritisnya. Kini ia sudah dirawat di ruang biasa.Hanya saja gadis itu masish belum sadar juga.
"Maafin gue Shill. . ." lirih Sivia. Gabriel yang juga ada di kamarrawat Shilla, turut bersedih mendengar isakan Sivia. sedangkan Alvinbelum datang.
"Loe ngga boleh ngomong kaya gitu. Kata loe kemaren loe ngga maunyalahin siapapun ?? jadi ya jangan salahin diri loe juga" hiburGabriel. Dia tawarkan pundaknya untuk tempat bersandar Via menumpahkanairmatanya.
"Gue Cuma ngga habis pikir kenapa sampe kaya gini Yel, gimana kaloShilla sampe tau kondisinya sekarang ?? gimana kalo dia tau, kalo cowogue yang sebenernya bukan loe, tapi Alvin. Dan . . .dan gimana kalosampe dia tau, bahwa gue lah yang maksa Alvin buat jadian sama Shilla.Dia pasti bakal sakit banget yel, dan bisa jadi Shilla ngga mau kenalgue selamanya. . .gue bingung Yel, Tuhan bener bener menempatkan gue diposisi yang sulit"isak Via. Gabriel membiarkan sivia menangis sepuasnyadipundaknya.
Tanpa keduanya sadari, Alvin menatap mereka bedaub dari kaca bening dipintu kamar rawat. Alvin memandang Sivia dan Gabriel dengan tatapancemburu. . .sekaligus ikhlas.
"Kalo emang Gabriel lebih pantes buat kamu, aku rela Vi. . .sekarangsaatnya aku yang berkorban" gumam Alvin. Dia emang udah berniat nebuskesalahannya sama Shilla dan bertekad untuk belajar mencintai gadis itu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
"Jo. . .Jona. . hh" rintih Shilla pelan, nyaris seperti bisikan. Siviayang tertidur di samping ranjang Shilla, terusik suara lirih yangdikeluarkan Shilla.
"Shilla ?? Shill loe udah sadar ??" Sivia menoleh kearah Gabriel dan alvin yang tertidur di sofa.
"Yel, Vin, shilla udah sadar" seru Via kegirangan. Gabriel berlarikeluar memanggil dokter. Sementara Alvin mendekati Shilla, dipegangnyatangan gadis itu.
"Maafin aku ya shill" ucap Alvin lembut. Sivia menatap Alvin takpercaya. Tapi dia senang karna perilaku Alvin sudah mulai mencair.
Shilla tersenyum lemah. "Aku yang seharusnya minta maaf Vin"
"Aku janji akan selalu jagain kamu Shill" janji Alvin. Shilla masih tersenyum kala dokter bawaan Gabriel memasuki ruangan itu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Shilla terduduk lesu di depan kolam. Tatapannya kosong. Dia udah keluardari rumah sakit sejak seminggu yang lalu. Saat mengetahui dirinya takmemiliki kaki, Shilla sempet pingsan saking shock nya. Untung ada Alvinyang setia menemani serta menghiburnya.
"Shill, kamu belum makan kan ?? makan yukk !! nih, aku bawain buburayam" ucap Alvin. Shilla menoleh. Tanpa kehadiran Alvin, mungkin Shillasudah bunuh diri saking tak kuatnya.
"Aku ngga laper Vin"
"Eh jangan gitu. Ntar kamu sakit. Kamu ngga mau bikin kami semua repot kan ??"
"Sekarang pun aku udah merepotkan kamu dan yang lain"
"Udahlah ngga usah ngomong ngawur kaya gitu. Yukk ke dalem..udaradisini ngga cocok buat kamu. Nanti kamu masuk angin" tanpa menunggujawaban Shilla, Alvin mendorong kursi roda 'pacarnya' memasuki rumah.
Perhatian yang diberikan Alvin membuat Shilla senang, sekaligus membuatSivia cemburu. Sivia memang masih menyukai Alvin. Tapi sekeras mungkindia akan sembuyikan demi menjaga perasaan shilla. Dia ngga mau membuatShilla tambah terpuruk.
"Vin, aku ngantuk. Pengen tidur" kata Shilla beberapa saat setelah menyelesaikan makan siangnyaa.
"yaudah aku anter kamu ke kamar" Alvin mendorong kursi roda Shilla kekamarnya. Sampai disana, dia membopong tubuh gadis itu ke tempat tidur.
"Hikss. . ."
"Loh, kenapa nangis Shill ?? aku ada salah lagi sama kamu ??" Alvin panik ketika melihat Shilla menangis.
Shilla menggeleng. "Aku nangis gara gara kebodohanku sendiri"
"Kenapa ??"
"Bisa bisanya aku merebut kamu dari Sivia, sahabat aku sendiri"
Alvin terbelalak. "Kamu. . .kamu tau dari mana ??""Aku tau semuanya Vin, waktu aku komaa, samar samar aku dengerpercakapan Sivia dan Gabriel di kamar rawatku. Percakapan merekamenjelaskan semuanya Vin, tentang permintaan sivia ke kamu untukmenjagaku. Aku bener bener benr benci sama diri aku sendiri" isakShilla tak tertahan.
"Shill, aku udah putus dari Sivia. Dan sekarang, saat ini aku mau belajar mencintai kamu. Sama seperti aku menyayangi Sivia"
"Tapi tetep aja aku ngga pantes. . ."
"Sstttt. . ." Alvin menempelkan telunjuknya di bibir Shilla. PerlahanAlvin keluarkan satu benda di sakunya. Seuntai kalung yang dulu sempatmembuat Alvin benar benar marah ketika Shilla mengenakan kalung itu.
"Semoga kamuj senang dengan kalung ini" Alvin mengalungkannya di leher Shilla.
"Buat aku vin ??"
Alvin mengangguk dan tersenyum.
"Hatiku Cuma ada satu. Aku ngga bisa menyayangi kamu dan Siviasekaligus. Makanya aku bertekad untuk membuang perasaanku ke Sivia.Kamu, jauh lebih membutuhkan aku" Alvin meyakinkan.
Shilla kembali menangis. Terharu. "Aku egois ya Vin ??"
Alvin menggeleng. Ngga lama, pintu kamar Shilla terbuka dari luar, Gabriel dan Sivia muncul di baliknya.
"hay Shill. . .hay. . .Vin" sapa Via kikuk.
"kebetulan loe dateng, sini Vi duduk di samping Alvin. Ada yang mau gue sampein ke kalian berdua" pinta Shilla. Sivia menurut.
"Maaf karna gue udah jadi pihak ketiga diantara kalian. Gue ngga pantessama Alvin. Karna sesungguhnya, hati Alvin Cuma buat loe Vi" kataShilla.
"Apaan sih loe Shill ??"
"Gue seneng banget Vi, karna gue udah berhasil nemuin cinta pertamague. Dan bener kan kata gue, Alvin cinta pertama dan bakal jadi cintaterakhir gue" sambungnya. Shilla meraaih tangan Alvin, dan tangan Via.Ditumpuknya tangan mereka berdua. Shilla menempatkan tangannya diatastangan tangan tersebut.
"Gue ngga akan merebut apa yang bukan milik gue. Kembalilah, gue mau ngembaliin milik loe Vi"
"Tapi Shill. . ."
"Gue bahagia banget udah bisa memiliki Alvin, walau hanya sesaat. Dengan ini gue bosa [ergi dengan tenang"
"Shill jangan ngomong gitu ah" protes Alvin. Shilla hanya tersenyum.
"Sekarang kalian balikan lagi ya ? aku ngga akan bisa pergi kalo kalianngga akur lagi. Aku sayang sama kalian bedaub. Dan aku ingin menyatukankembali dua orang yang kusayangi" tutur Shilla. Alvin dan Sivia salingberpandangan.
Perasaan senang membuncah di dada Shilla.
"Ada satu lagi permintaan gue" ujarnya.
"Apa ??"
"Ijinin aaku bawa kalung ini Vin, ijinin aku membawa salah satu barangberharga ini" Shilla memeluk bandul kalung yang diberikan Alvin.
"Ya Shill, kenapa engga??"
"Makasih ya Vin, Vi, dan juga loe Yel" Shilla melirik gabriel.
"Loe harus kuat Shill, loe pasti bisa" gabriel menguatkan.
Shilla masih berusaha tersenyum dibalik rasa sakit yang menyiksanya.Dia sampai meremas tangan Alvin saking sakitnya. Darah segar mengalirdari hidungnya. Sivia dan Alvin panik.
"Shill, gue panggil dokter ya" Sivia hendak bangkit menelpon dokter, tapi keburu di tarik Shilla.
"Ngga perlu Vi, gue Cuma pengen abisin saat terakhir gue sama kaliansemua. Gue. . .gue sayang kalian..." Shilla memejamkan matanya. Tenang.Alvin mengusap airmata Shilla yang belum mengering, Shilla takbereaksi. Alvin menempelkan telunjuknya ke hidung Shilla, memastikanapakah ada kerja pernafasan disana atau engga.
"gimana Vin ??" tanya Sivia panik.
Alvin menunduk, dia menggeleng pelan. Airmata mengalir di pipinya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Aku memang tak bisa memberikan sepenuhnya hatiku untuk kamu Shill,Tapi aku sangat berterimakasih padamu karna kamu telah memberikan sepenuhnya hatimu,Untuk mencintaiku. . .Semoga kamu tenang di alam sama Shill. . .
Aku tak mampu menyaakitimu..Aku tak sanggup untuk menduakanmu..
Ku tak mungkin mencintaimu..Karna hatiku tlah dimiliki diaKau tak mungkin memiliki, ku sepenuh hatiku..Ku hanya ingin setia

Read More......

Jumat, 01 April 2011

Diam -cerpen

Inilah tahun pertamaku menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Meninggalkan seragam putih-merah yang sudah kukenakan selama enam tahun, aku pun merasa bangga melenggang memasuki sekolah dengan seragam putih-biru. Apalagi sekolahku yang baru ini adalah sekolah terfavorit di kotaku. Dan dengan perasaan campur aduk antara tegang dan senang, aku pun memasuki kelas 7.2. Baiklah, selamat datang di kelas baru!

Tapi setelah beberapa minggu aku menyadari, bahwa aku tidak cocok di kelas pertamaku ini. Sangat terlihat adanya kesenjangan antara si-gaul dan si-tidak-gaul. Kebetulan, mungkin, aku masuk ke kategori kedua. Namaku Nova, dengan tampang pas-pasan, otak pas-pasan, uang pas-pasan, tentu saja dianggap sebelah—mungkin bahkan seperempat—mata di depan sebagian kecil makhluk ‘gaul’ yang mayoritas terdiri dari murid perempuan tersebut.

Namun aku tak peduli. Masih banyak murid lain. Dan ada satu orang murid laki-laki yang membuatku tertarik. Hei, hanya tertarik!

Kulitnya kecokelatan, rambutnya sedikit jabrik. Sekilas murid itu biasa-biasa saja. Namun di mataku, mata teduhnya justru membuat ia terlihat lebih dewasa dari yang lain. Dan walaupun aku tak pernah menganggapnya tampan, tapi ia memiliki wajah yang… menarik. Karena itulah aku tertarik padanya. Tertarik untuk kenal lebih jauh, karena wajahnya yang sedikit misterius.

Namanya Rio. Menurut anggapanku, dia masuk ke kategori ‘gaul’ karena lebih sering berteman dengan anak-anak gaul dibandingkan denganku dan murid ‘tidak gaul’ lainnya. Tapi diam-diam aku memerhatikannya. Memerhatikan saat ia selalu dimintai ‘contekan’ saat ulangan matematika, memerhatikan ia saat berakting sebagai Pangeran dalam drama Putri Tidur, menyanyikan lagu First Love bersama Keke yang berperan menjadi Aurora, sedangkan aku hanya menjadi penonton setia karena—bisa ditebak—pemeran-pemerannya adalah si anak-anak gaul.

Aku melengos, bahkan memalingkan muka ketika Rio dengan canggung menggenggam tangan Keke yang berakting tidur.

Pada akhirnya aku menyadari. Rio sangat menarik. Pintar matematika, hampir selalu masuk tiga besar—pernah ia terlempar ke urutan tujuh. Begitu ayahnya keluar dari kelas pengambilan rapor, langsung saja Rio dijewer dan disuruh pulang—, juga pandai berbicara dan berdebat. Aku semakin mengaguminya.

Namun aku juga menyadari, ia sangat berbeda denganku. Aku tidak pernah masuk jajaran tiga besar selama kelas tujuh, tidak pula banyak berbicara maupun berdebat di kelas. Semua ‘kekurangan’ dan ‘kelebihan’ itu makin menegaskan bahwa aku sangat tak layak untuk mengaguminya.

Aku sempat penasaran ketika Rio berulang kali menulis sebuah nama berukuran besar di papan tulis. ACHA. Dapat kutebak, pasti orang bernama Acha itu adalah orang yang disukai olehnya. Gila, berani juga dia menulis nama itu besar-besar di papan tulis, dilihat oleh seluruh penghuni kelas.

Jawaban pun kudapatkan. Ternyata Acha memang orang yang sempat disukai Rio. Dan menurut teman-teman SD Rio yang kukenal, Acha memang cantik karena memiliki darah indo.

Lagi. Aku dihempaskan jauh ke dalam bumi. Aku kecewa, namun tak tahu mengapa.

Sesuatu yang menarik kembali terjadi. Ketika naik ke kelas delapan, lagi-lagi aku sekelas dengannya! Tepatnya di 8.1. Sayangnya, tahun keduaku di SMP ini justru lebih parah. Aku sempat pacaran dengan Alvin yang sekolahnya berbeda denganku. Hubungan itu pun tak tahan lama, hanya sekitar lima bulan. Mungkin itu yang menyebabkanku sering menyendiri dan terasingkan. Masalah kekagumanku dengan Rio pun semakin tak kupikirkan.

Namun tetap saja aku menyadari, bahwa aku sangat ingin dia melihatku. Menganggapku ada.

Lagi. Aku tak tahu apa yang kurasakan, dan aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa diam.

Keajaiban kembali terjadi. Kelas sembilan pun aku berada satu kelas lagi dengan Rio! Itu artinya, kami telah tiga tahun sekelas. Namun tahukah kau, aku hanya sesekali berbicara dengannya. Aku lebih banyak memerhatikannya, melihatnya, tanpa ia sadari.

Aku melihat ia yang saat kelas tujuh tingginya sama denganku, saat kelas sembilan tiba-tiba ia menjulang, aku pun hanya setinggi bahunya!

Lihat, aku bahkan memerhatikan tinggimu. Aku melihatmu tumbuh dan semakin dewasa, tapi mengapa kau tak pernah melihatku?!

Ingin sekali aku meneriakkan kata-kata di atas tepat di depan wajahnya.

-
Ternyata kelas sembilan adalah kelas yang sangat hebat! Aku mendapatkan banyak teman baru yang tidak pernah kubayangkan akan sedekat ini. Mereka juga mengecam geng ‘gaul’ yang sekarang telah berpencar kelas. Mereka lah yang membuatku lebih banyak berbicara dan tertawa.

Mereka pulalah yang secara tidak langsung membuatku menjadi percaya diri ketika berhadapan dengan Rio, walaupun mereka tak tahu apa yang kurasakan. Aku mulai berani mengajukan bertanya ketika kelompoknya maju untuk presentasi, aku pun mulai tak canggung lagi untuk menanyakan sesuatu darinya. Ternyata ia anak yang ramah dan berpikiran kritis.

Hingga pada akhirnya, di saat aku berada di langit, untuk kesekian kalinya aku dihempaskan ke bumi.

Saat itu sedang ada perayaan tujuh belas agustus di sekolahku. Ada pensi, lomba, dan sebagainya. Seluruh siswa diwajibkan memakai baju berunsur merah, putih, atau bahkan keduanya.

Aku dan salah seorang teman baikku, Sivia, berjalan berdua dari kantin tempat kami membeli minuman karena haus. Beberapa meter dari kantin, tepatnya di koridor sekolah yang sempit, aku melihat Rio berjalan ke arah kami bersama beberapa orang temannya. Dan kulihat ia tersenyum! Gosh, Rio tersenyum padaku? Pikiranku langsung berkecamuk, apa aku harus membalas senyumnya? Namun telat. Rio sudah semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat. Aku sedang memikirkan penampilanku ketika…

“Gimana yang kemaren?” tanya Rio tiba-tiba. Bukan kepadaku, melainkan pada Sivia yang pipi putihnya langsung memerah.

Otomatis aku mundur dan menjauh karena teman-teman Rio mulai mengerubungi keduanya. Aku tak mendengar Sivia mengatakan apapun, mungkin karena suaranya yang kelewat lembut. Yang dapat kutangkap hanyalah ucapan-ucapan selamat. Tunggu, ada apa ini?

Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada salah seorang teman sekelasku di kelas tujuh. Jawabannya membuatku membeku.

Rio telah menyatakan perasaannya pada Sivia dua hari sebelumnya, dan baru dijawab dua hari kemudian dengan jawaban positif.

Di tengah dengung kehebohan yang seketika melanda koridor kecil itu, aku berusaha menetralkan jantungku yang tiba-tiba merubah tempo debarnya menjadi jauh lebih cepat.

Di satu sisi aku senang karena teman baikku telah jadian, namun di satu sisi aku menyadari.

Menyadari bahwa aku telah menyukai Rio. Lebih dari seorang teman sekelas. Menyukai selama hampir tiga tahun, tanpa menyadari perasaanku sebelumnya.

Ketika kerumunan orang yang mengucapkan ‘selamat’ menipis, aku memberanikan diri mendekati teman baikku itu, mengulas senyum, dan menengadahkan tangan.

Aku berseru, mungkin terlalu keras, “Ciee, Sivia… bagi pajak jadian, dong!”

Sakit. Sakit rasanya. Aku tersenyum, namun dadaku sakit. Aku berseru senang, padahal dadaku seperti ingin mengeluarkan beban berat.

Namun aku mencoba ikut berbahagia, walaupun hatiku hanya bisa diam dan menyimpan perasaan itu.

Hari itu juga tiba-tiba menjadi seperti neraka dunia bagiku. Rio dan Sivia langsung saja berpacaran. Di hadapanku yang sedang mengobrol dengan teman-teman yang lain di balkon depan kelas. Mereka duduk berdua tak jauh dari tempatku berdiri. Berdua, dan Rio terlihat sangat lembut dan perhatian.

Sisa hari itu akhirnya aku habiskan dengan senyum palsu yang terus terlukis di bibirku.

Aku mengenalmu lebih lama, tapi kenapa dia yang mendapatkanmu?

-
Sebulan kemudian, dari dalam jendela kelas yang hanya sebatas leher, aku melihat Sivia berjalan cepat menuju kelas. Di belakangnya, Rio tampak ingin mengejar, namun tidak jadi. Hal yang terakhir aku ingat adalah mereka berpacaran seperti biasa di balkon depan kelas. Melihat cara berjalan Sivia, aku menduga telah terjadi sesuatu.

BRAKK! Pintu kelas menjeblak keras. Sivia langsung menuju kursinya yang terletak di deretan depan dan menunduk. Rambut panjangnya mengaburkan air matanya ketika aku dan teman-temanku menghampirinya.

Terkuaklah apa yang membuat Sivia menangis. Beberapa menit sebelumnya, ia telah meminta putus dari Rio.

“Ke… kenapa lo minta putus dari dia, Vi?” tanyaku takut-takut, kembali melirik tempat di mana beberapa menit sebelumnya Rio menatap Sivia yang berjalan cepat dengan tatapan kalut, di balkon depan kelas. Namun Rio sudah tidak ada di sana.

Sambil menghapus sisa-sisa air matanya, ia mendongak. “Dia egois, Nov! Selalu aja maksain kehendak! Dan dia bisa-bisanya nyindir temen-temen gue di depan gue!” ucapnya setengah histeris sebelum kembali menunduk. Teman-temannya? Bisa jadi aku, batinku. Teman-teman baik Sivia di kelas lumayan banyak, termasuk aku, dan memang bisa dibilang kami sedikit ‘mengeksklusifkan diri’.

Lagi-lagi aku bimbang. Setengah hatiku meloncat senang karena mereka telah putus—walaupun Sivia mengakui Rio belum sempat setuju, namun setengah hatiku ikut sedih dan marah melihat temanku disakiti seperti itu. Dan kembali, aku memilih opsi kedua. Aku memilih menghibur Sivia dengan mengatakan ‘cowok seperti itu tak pantas ditangisi’. Sesuatu yang sangat kontradiksi dengan apa yang aku rasakan.

Di saat menghibur Sivia bersama teman-teman yang lain, aku meyakinkan diri untuk melupakan perasaanku pada Rio. Benar, Rio tak pantas ditangisi.

Namun pertahanku benar-benar runtuh ketika Rio tiba-tiba masuk kelas dan berlutut di samping bangku Sivia. Aku hanya samar-samar mendengar Rio berkata ‘maaf’ dan ‘tak akan mengulanginya lagi’. Aku yang menyaksikan kejadian itu dari bangkuku di deretan belakang hanya bisa diam. Lagi-lagi diam.

Diam karena aku membayangkan betapa beruntungnya aku bila berada di posisi Sivia saat itu.

Diam karena aku mengira-ngira kapan akan mendapatkan tatapan maaf setulus dan sedalam itu dari mata Rio.

Diam karena aku takut, jika aku bergerak, air yang sudah memenuhi mataku akan jatuh.

Aku kenal sama kamu udah dari kelas tujuh. Tapi kenapa kamu nggak pernah menyadari bahwa aku selalu melihat kamu, memerhatikan kamu?

-
Akhirnya Sivia dan Rio putus hubungan. Sungguh, aku sangat ingin menghibur Rio yang tertunduk sedih selama sisa hari itu. Tapi aku tak bisa. Aku hanya bisa diam dan menyimpan perasaanku, karena aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya.

-
Hari demi hari dan bulan demi bulan pun berlalu. Aku berjalan santai memasuki hari pertamaku di SMA. Putih-biru berganti menjadi putih-abu-abu. Dan… tebaklah. Aku ‘terancam’ akan sekelas (lagi) dengan Rio sampai lulus SMA!

Aku mengambil kelas akselerasi, karena aku memang mempunyai angan untuk menjadi dokter. Keinginanku sangat kuat sehingga aku ingin cepat-cepat lulus. Kelas akselerasi merupakan kelas percepatan, sehingga aku akan lulus hanya dalam dua tahun. Berhubung program akselerasi itu hanya membuka satu kelas, pasti teman-teman sekelasku tidak akan berubah hingga lulus SMA. Dan sialnya, Rio juga mengikuti kelas akselerasi, di sekolah yang sama denganku. Geez…

Itu artinya, bila ditotal, aku akan satu kelas dengannya selama lima tahun berurut-turut. Bisa kau bayangkan rasanya satu kelas selama lima tahun dengan orang yang kau suka, namun kau tak pernah berani untuk mengungkapkan perasaanmu—bahkan hanya untuk memberi sinyal-sinyal?

Setelah beberapa minggu menjadi murid SMA, akhirnya aku membuat keputusan. Aku tak bisa terus menghindar dari Rio. Selama ini bisa dibilang aku selalu menjaga jarak dengannya, mengobrol pun walaupun sudah lumayan sering tapi tak pernah jauh dari topik pelajaran.

Dengan mengumpulkan segala keberanian, aku akhirnya mencoba untuk lebih dekat dengannya. Mulai dari obrolan-obrolan ringan, hingga akhirnya aku—dengan nada bercanda—terang-terangan berkata di hadapannya bahwa ia adalah ‘tukang bacot nomor satu’. Hal yang kukatakan memang benar, karena berdebat dengannya akan menghabiskan waktu berjam-jam.

Hingga pada suatu hari, kelompokku baru saja menyelesaikan presentasi biologi di jam terakhir. Begitu kembali ke tempat dudukku, aku bertanya padanya dengan nada menggoda dan bercanda.

“Tumben nggak nanya, biasanya cerewet.”

Rio, yang duduk tepat di belakangku, langsung memberi alasan—hal yang selalu dilakukannya. “Yah, ntar kalo gue nanya elu marah…”

Jadilah jam pulang tersebut kami habiskan dengan berdebat, lebih mirip orang bertengkar, sebenarnya. Bahkan, teman sebangkuku yang juga merupakan teman SMPku, Ify, juga ikut berkoar. Dua lawan satu. Dari topik utama presentasi biologi, akhirnya merembet ke mana-mana.

“Gue tuh tadi bercanda! Jangan dianggap serius, kek,” seru Rio.

Sambil menggertakkan gigi, aku berkata, “Tapi muka lo tuh serius terus, mana bisa gue tau lo bercanda apa nggak!”

Rio pun membalas. “Nih, liatin ya! Kalo gue mukanya kayak gini,” ia pun memasang ekspresi senyum-senyum sendiri, “tandanya gue lagi bercanda! Tapi kalo muka gue kayak gini,” ia tiba-tiba mengatupkan bibir. Tak ada senyum di bibirnya. “Tandanya gue serius! Dari tadi gue senyum terus kan?”

“Tapi tetep aja, muka lo tuh nggak berubah-berubah!” balasku tak mau kalah.

Pentingkah membahas tentang bercanda-atau-tidak? Itulah kami. Selalu berdebat tentang hal yang tidak penting.

“Lo tuh kayaknya sensi banget sih sama gue?!” tanya Rio sewot, namun seraya tersenyum. Memang, walaupun terlihat bertengkar hebat, kami sebenarnya tahu bahwa lawan bicara kami bercanda. Tanpa diberitahu Rio pun aku sudah tahu hal itu sebenarnya.

“Emang! Gue tuh sebel sama lo! Lo orangnya nyebelin sih,” balasku sengit. Dalam hati aku berharap Rio bisa menangkap kilat kebohongan di mataku.

“Gue tuh bosen sekelas sama lo mulu dari kelas tujuh sampe sekarang!” lanjutku, masih dengan nada tinggi seraya memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.

“Dikira lo doang yang bosen? Gue juga! Setiap naik kelas, pasti ada lo. Di mana ada Rio, pasti ada Nova. Frustasi gueee!” balasnya sambil melakukan hal yang sama, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

Tiba-tiba sebuah suara menyeletuk. “Wah, itu mah namanya jodoh!”

Aku dan Rio serentak mengalihkan pandangan pada Ify, si empunya suara tadi. “Enak aja,” gumamku seraya (pura-pura) cemberut. Walaupun dalam hati aku bersorak kegirangan karena perkataan Rio. Di mana ada Rio, pasti ada Nova. Well, I like it.

Begitulah. Hampir setiap hari kami bertengkar. Dan sebagian besar masalah sepele. Aku hanya berharap ia tak benar-benar membenciku karena perkataanku.

Aku menyadari, bahwa keadaan seperti ini lebih baik dibandingkan terus menatapnya dari jauh.

Karena lambat laun aku juga menyadari, lebih baik menjadi teman daripada pacar. Aku tahu kalau aku dan Rio berpacaran lalu putus, hubungan kami akan lebih kaku daripada sekarang. Lebih baik menjadi teman, dan aku akan terus diberi ‘kesempatan’ untuk berbicara dengannya. Walaupun kami lebih banyak bertengkar.

Aku mensyukuri itu.

Dan mensyukuri bahwa belum seorang pun yang tahu aku memendam perasaan pada Rio.

Karena aku terus diam dan diam, memendam perasaan ini dalam hatiku.

Dan aku takut, bila aku memunculkan rasa ini ke permukaan, Rio akan menjauhiku.

Lagi-lagi, aku hanya bisa diam.

-

Apa kamu benar-benar menganggapku tak berharga?
Apa kamu tak pernah memikirkanku, walaupun hanya sedikit?
DAN APAKAH AKU HARUS TERLEBIH DAHULU MENGIBARKAN BENDERA PERANG HANYA UNTUK MENDAPATKAN PERHATIANMU?


Inilah tahun pertamaku menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Meninggalkan seragam putih-merah yang sudah kukenakan selama enam tahun, aku pun merasa bangga melenggang memasuki sekolah dengan seragam putih-biru. Apalagi sekolahku yang baru ini adalah sekolah terfavorit di kotaku. Dan dengan perasaan campur aduk antara tegang dan senang, aku pun memasuki kelas 7.2. Baiklah, selamat datang di kelas baru!

Tapi setelah beberapa minggu aku menyadari, bahwa aku tidak cocok di kelas pertamaku ini. Sangat terlihat adanya kesenjangan antara si-gaul dan si-tidak-gaul. Kebetulan, mungkin, aku masuk ke kategori kedua. Namaku Nova, dengan tampang pas-pasan, otak pas-pasan, uang pas-pasan, tentu saja dianggap sebelah—mungkin bahkan seperempat—mata di depan sebagian kecil makhluk ‘gaul’ yang mayoritas terdiri dari murid perempuan tersebut.

Namun aku tak peduli. Masih banyak murid lain. Dan ada satu orang murid laki-laki yang membuatku tertarik. Hei, hanya tertarik!

Kulitnya kecokelatan, rambutnya sedikit jabrik. Sekilas murid itu biasa-biasa saja. Namun di mataku, mata teduhnya justru membuat ia terlihat lebih dewasa dari yang lain. Dan walaupun aku tak pernah menganggapnya tampan, tapi ia memiliki wajah yang… menarik. Karena itulah aku tertarik padanya. Tertarik untuk kenal lebih jauh, karena wajahnya yang sedikit misterius.

Namanya Rio. Menurut anggapanku, dia masuk ke kategori ‘gaul’ karena lebih sering berteman dengan anak-anak gaul dibandingkan denganku dan murid ‘tidak gaul’ lainnya. Tapi diam-diam aku memerhatikannya. Memerhatikan saat ia selalu dimintai ‘contekan’ saat ulangan matematika, memerhatikan ia saat berakting sebagai Pangeran dalam drama Putri Tidur, menyanyikan lagu First Love bersama Keke yang berperan menjadi Aurora, sedangkan aku hanya menjadi penonton setia karena—bisa ditebak—pemeran-pemerannya adalah si anak-anak gaul.

Aku melengos, bahkan memalingkan muka ketika Rio dengan canggung menggenggam tangan Keke yang berakting tidur.

Pada akhirnya aku menyadari. Rio sangat menarik. Pintar matematika, hampir selalu masuk tiga besar—pernah ia terlempar ke urutan tujuh. Begitu ayahnya keluar dari kelas pengambilan rapor, langsung saja Rio dijewer dan disuruh pulang—, juga pandai berbicara dan berdebat. Aku semakin mengaguminya.

Namun aku juga menyadari, ia sangat berbeda denganku. Aku tidak pernah masuk jajaran tiga besar selama kelas tujuh, tidak pula banyak berbicara maupun berdebat di kelas. Semua ‘kekurangan’ dan ‘kelebihan’ itu makin menegaskan bahwa aku sangat tak layak untuk mengaguminya.

Aku sempat penasaran ketika Rio berulang kali menulis sebuah nama berukuran besar di papan tulis. ACHA. Dapat kutebak, pasti orang bernama Acha itu adalah orang yang disukai olehnya. Gila, berani juga dia menulis nama itu besar-besar di papan tulis, dilihat oleh seluruh penghuni kelas.

Jawaban pun kudapatkan. Ternyata Acha memang orang yang sempat disukai Rio. Dan menurut teman-teman SD Rio yang kukenal, Acha memang cantik karena memiliki darah indo.

Lagi. Aku dihempaskan jauh ke dalam bumi. Aku kecewa, namun tak tahu mengapa.

Sesuatu yang menarik kembali terjadi. Ketika naik ke kelas delapan, lagi-lagi aku sekelas dengannya! Tepatnya di 8.1. Sayangnya, tahun keduaku di SMP ini justru lebih parah. Aku sempat pacaran dengan Alvin yang sekolahnya berbeda denganku. Hubungan itu pun tak tahan lama, hanya sekitar lima bulan. Mungkin itu yang menyebabkanku sering menyendiri dan terasingkan. Masalah kekagumanku dengan Rio pun semakin tak kupikirkan.

Namun tetap saja aku menyadari, bahwa aku sangat ingin dia melihatku. Menganggapku ada.

Lagi. Aku tak tahu apa yang kurasakan, dan aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa diam.

Keajaiban kembali terjadi. Kelas sembilan pun aku berada satu kelas lagi dengan Rio! Itu artinya, kami telah tiga tahun sekelas. Namun tahukah kau, aku hanya sesekali berbicara dengannya. Aku lebih banyak memerhatikannya, melihatnya, tanpa ia sadari.

Aku melihat ia yang saat kelas tujuh tingginya sama denganku, saat kelas sembilan tiba-tiba ia menjulang, aku pun hanya setinggi bahunya!

Lihat, aku bahkan memerhatikan tinggimu. Aku melihatmu tumbuh dan semakin dewasa, tapi mengapa kau tak pernah melihatku?!

Ingin sekali aku meneriakkan kata-kata di atas tepat di depan wajahnya.

-
Ternyata kelas sembilan adalah kelas yang sangat hebat! Aku mendapatkan banyak teman baru yang tidak pernah kubayangkan akan sedekat ini. Mereka juga mengecam geng ‘gaul’ yang sekarang telah berpencar kelas. Mereka lah yang membuatku lebih banyak berbicara dan tertawa.

Mereka pulalah yang secara tidak langsung membuatku menjadi percaya diri ketika berhadapan dengan Rio, walaupun mereka tak tahu apa yang kurasakan. Aku mulai berani mengajukan bertanya ketika kelompoknya maju untuk presentasi, aku pun mulai tak canggung lagi untuk menanyakan sesuatu darinya. Ternyata ia anak yang ramah dan berpikiran kritis.

Hingga pada akhirnya, di saat aku berada di langit, untuk kesekian kalinya aku dihempaskan ke bumi.

Saat itu sedang ada perayaan tujuh belas agustus di sekolahku. Ada pensi, lomba, dan sebagainya. Seluruh siswa diwajibkan memakai baju berunsur merah, putih, atau bahkan keduanya.

Aku dan salah seorang teman baikku, Sivia, berjalan berdua dari kantin tempat kami membeli minuman karena haus. Beberapa meter dari kantin, tepatnya di koridor sekolah yang sempit, aku melihat Rio berjalan ke arah kami bersama beberapa orang temannya. Dan kulihat ia tersenyum! Gosh, Rio tersenyum padaku? Pikiranku langsung berkecamuk, apa aku harus membalas senyumnya? Namun telat. Rio sudah semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat. Aku sedang memikirkan penampilanku ketika…

“Gimana yang kemaren?” tanya Rio tiba-tiba. Bukan kepadaku, melainkan pada Sivia yang pipi putihnya langsung memerah.

Otomatis aku mundur dan menjauh karena teman-teman Rio mulai mengerubungi keduanya. Aku tak mendengar Sivia mengatakan apapun, mungkin karena suaranya yang kelewat lembut. Yang dapat kutangkap hanyalah ucapan-ucapan selamat. Tunggu, ada apa ini?

Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada salah seorang teman sekelasku di kelas tujuh. Jawabannya membuatku membeku.

Rio telah menyatakan perasaannya pada Sivia dua hari sebelumnya, dan baru dijawab dua hari kemudian dengan jawaban positif.

Di tengah dengung kehebohan yang seketika melanda koridor kecil itu, aku berusaha menetralkan jantungku yang tiba-tiba merubah tempo debarnya menjadi jauh lebih cepat.

Di satu sisi aku senang karena teman baikku telah jadian, namun di satu sisi aku menyadari.

Menyadari bahwa aku telah menyukai Rio. Lebih dari seorang teman sekelas. Menyukai selama hampir tiga tahun, tanpa menyadari perasaanku sebelumnya.

Ketika kerumunan orang yang mengucapkan ‘selamat’ menipis, aku memberanikan diri mendekati teman baikku itu, mengulas senyum, dan menengadahkan tangan.

Aku berseru, mungkin terlalu keras, “Ciee, Sivia… bagi pajak jadian, dong!”

Sakit. Sakit rasanya. Aku tersenyum, namun dadaku sakit. Aku berseru senang, padahal dadaku seperti ingin mengeluarkan beban berat.

Namun aku mencoba ikut berbahagia, walaupun hatiku hanya bisa diam dan menyimpan perasaan itu.

Hari itu juga tiba-tiba menjadi seperti neraka dunia bagiku. Rio dan Sivia langsung saja berpacaran. Di hadapanku yang sedang mengobrol dengan teman-teman yang lain di balkon depan kelas. Mereka duduk berdua tak jauh dari tempatku berdiri. Berdua, dan Rio terlihat sangat lembut dan perhatian.

Sisa hari itu akhirnya aku habiskan dengan senyum palsu yang terus terlukis di bibirku.

Aku mengenalmu lebih lama, tapi kenapa dia yang mendapatkanmu?

-
Sebulan kemudian, dari dalam jendela kelas yang hanya sebatas leher, aku melihat Sivia berjalan cepat menuju kelas. Di belakangnya, Rio tampak ingin mengejar, namun tidak jadi. Hal yang terakhir aku ingat adalah mereka berpacaran seperti biasa di balkon depan kelas. Melihat cara berjalan Sivia, aku menduga telah terjadi sesuatu.

BRAKK! Pintu kelas menjeblak keras. Sivia langsung menuju kursinya yang terletak di deretan depan dan menunduk. Rambut panjangnya mengaburkan air matanya ketika aku dan teman-temanku menghampirinya.

Terkuaklah apa yang membuat Sivia menangis. Beberapa menit sebelumnya, ia telah meminta putus dari Rio.

“Ke… kenapa lo minta putus dari dia, Vi?” tanyaku takut-takut, kembali melirik tempat di mana beberapa menit sebelumnya Rio menatap Sivia yang berjalan cepat dengan tatapan kalut, di balkon depan kelas. Namun Rio sudah tidak ada di sana.

Sambil menghapus sisa-sisa air matanya, ia mendongak. “Dia egois, Nov! Selalu aja maksain kehendak! Dan dia bisa-bisanya nyindir temen-temen gue di depan gue!” ucapnya setengah histeris sebelum kembali menunduk. Teman-temannya? Bisa jadi aku, batinku. Teman-teman baik Sivia di kelas lumayan banyak, termasuk aku, dan memang bisa dibilang kami sedikit ‘mengeksklusifkan diri’.

Lagi-lagi aku bimbang. Setengah hatiku meloncat senang karena mereka telah putus—walaupun Sivia mengakui Rio belum sempat setuju, namun setengah hatiku ikut sedih dan marah melihat temanku disakiti seperti itu. Dan kembali, aku memilih opsi kedua. Aku memilih menghibur Sivia dengan mengatakan ‘cowok seperti itu tak pantas ditangisi’. Sesuatu yang sangat kontradiksi dengan apa yang aku rasakan.

Di saat menghibur Sivia bersama teman-teman yang lain, aku meyakinkan diri untuk melupakan perasaanku pada Rio. Benar, Rio tak pantas ditangisi.

Namun pertahanku benar-benar runtuh ketika Rio tiba-tiba masuk kelas dan berlutut di samping bangku Sivia. Aku hanya samar-samar mendengar Rio berkata ‘maaf’ dan ‘tak akan mengulanginya lagi’. Aku yang menyaksikan kejadian itu dari bangkuku di deretan belakang hanya bisa diam. Lagi-lagi diam.

Diam karena aku membayangkan betapa beruntungnya aku bila berada di posisi Sivia saat itu.

Diam karena aku mengira-ngira kapan akan mendapatkan tatapan maaf setulus dan sedalam itu dari mata Rio.

Diam karena aku takut, jika aku bergerak, air yang sudah memenuhi mataku akan jatuh.

Aku kenal sama kamu udah dari kelas tujuh. Tapi kenapa kamu nggak pernah menyadari bahwa aku selalu melihat kamu, memerhatikan kamu?

-
Akhirnya Sivia dan Rio putus hubungan. Sungguh, aku sangat ingin menghibur Rio yang tertunduk sedih selama sisa hari itu. Tapi aku tak bisa. Aku hanya bisa diam dan menyimpan perasaanku, karena aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya.

-
Hari demi hari dan bulan demi bulan pun berlalu. Aku berjalan santai memasuki hari pertamaku di SMA. Putih-biru berganti menjadi putih-abu-abu. Dan… tebaklah. Aku ‘terancam’ akan sekelas (lagi) dengan Rio sampai lulus SMA!

Aku mengambil kelas akselerasi, karena aku memang mempunyai angan untuk menjadi dokter. Keinginanku sangat kuat sehingga aku ingin cepat-cepat lulus. Kelas akselerasi merupakan kelas percepatan, sehingga aku akan lulus hanya dalam dua tahun. Berhubung program akselerasi itu hanya membuka satu kelas, pasti teman-teman sekelasku tidak akan berubah hingga lulus SMA. Dan sialnya, Rio juga mengikuti kelas akselerasi, di sekolah yang sama denganku. Geez…

Itu artinya, bila ditotal, aku akan satu kelas dengannya selama lima tahun berurut-turut. Bisa kau bayangkan rasanya satu kelas selama lima tahun dengan orang yang kau suka, namun kau tak pernah berani untuk mengungkapkan perasaanmu—bahkan hanya untuk memberi sinyal-sinyal?

Setelah beberapa minggu menjadi murid SMA, akhirnya aku membuat keputusan. Aku tak bisa terus menghindar dari Rio. Selama ini bisa dibilang aku selalu menjaga jarak dengannya, mengobrol pun walaupun sudah lumayan sering tapi tak pernah jauh dari topik pelajaran.

Dengan mengumpulkan segala keberanian, aku akhirnya mencoba untuk lebih dekat dengannya. Mulai dari obrolan-obrolan ringan, hingga akhirnya aku—dengan nada bercanda—terang-terangan berkata di hadapannya bahwa ia adalah ‘tukang bacot nomor satu’. Hal yang kukatakan memang benar, karena berdebat dengannya akan menghabiskan waktu berjam-jam.

Hingga pada suatu hari, kelompokku baru saja menyelesaikan presentasi biologi di jam terakhir. Begitu kembali ke tempat dudukku, aku bertanya padanya dengan nada menggoda dan bercanda.

“Tumben nggak nanya, biasanya cerewet.”

Rio, yang duduk tepat di belakangku, langsung memberi alasan—hal yang selalu dilakukannya. “Yah, ntar kalo gue nanya elu marah…”

Jadilah jam pulang tersebut kami habiskan dengan berdebat, lebih mirip orang bertengkar, sebenarnya. Bahkan, teman sebangkuku yang juga merupakan teman SMPku, Ify, juga ikut berkoar. Dua lawan satu. Dari topik utama presentasi biologi, akhirnya merembet ke mana-mana.

“Gue tuh tadi bercanda! Jangan dianggap serius, kek,” seru Rio.

Sambil menggertakkan gigi, aku berkata, “Tapi muka lo tuh serius terus, mana bisa gue tau lo bercanda apa nggak!”

Rio pun membalas. “Nih, liatin ya! Kalo gue mukanya kayak gini,” ia pun memasang ekspresi senyum-senyum sendiri, “tandanya gue lagi bercanda! Tapi kalo muka gue kayak gini,” ia tiba-tiba mengatupkan bibir. Tak ada senyum di bibirnya. “Tandanya gue serius! Dari tadi gue senyum terus kan?”

“Tapi tetep aja, muka lo tuh nggak berubah-berubah!” balasku tak mau kalah.

Pentingkah membahas tentang bercanda-atau-tidak? Itulah kami. Selalu berdebat tentang hal yang tidak penting.

“Lo tuh kayaknya sensi banget sih sama gue?!” tanya Rio sewot, namun seraya tersenyum. Memang, walaupun terlihat bertengkar hebat, kami sebenarnya tahu bahwa lawan bicara kami bercanda. Tanpa diberitahu Rio pun aku sudah tahu hal itu sebenarnya.

“Emang! Gue tuh sebel sama lo! Lo orangnya nyebelin sih,” balasku sengit. Dalam hati aku berharap Rio bisa menangkap kilat kebohongan di mataku.

“Gue tuh bosen sekelas sama lo mulu dari kelas tujuh sampe sekarang!” lanjutku, masih dengan nada tinggi seraya memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.

“Dikira lo doang yang bosen? Gue juga! Setiap naik kelas, pasti ada lo. Di mana ada Rio, pasti ada Nova. Frustasi gueee!” balasnya sambil melakukan hal yang sama, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

Tiba-tiba sebuah suara menyeletuk. “Wah, itu mah namanya jodoh!”

Aku dan Rio serentak mengalihkan pandangan pada Ify, si empunya suara tadi. “Enak aja,” gumamku seraya (pura-pura) cemberut. Walaupun dalam hati aku bersorak kegirangan karena perkataan Rio. Di mana ada Rio, pasti ada Nova. Well, I like it.

Begitulah. Hampir setiap hari kami bertengkar. Dan sebagian besar masalah sepele. Aku hanya berharap ia tak benar-benar membenciku karena perkataanku.

Aku menyadari, bahwa keadaan seperti ini lebih baik dibandingkan terus menatapnya dari jauh.

Karena lambat laun aku juga menyadari, lebih baik menjadi teman daripada pacar. Aku tahu kalau aku dan Rio berpacaran lalu putus, hubungan kami akan lebih kaku daripada sekarang. Lebih baik menjadi teman, dan aku akan terus diberi ‘kesempatan’ untuk berbicara dengannya. Walaupun kami lebih banyak bertengkar.

Aku mensyukuri itu.

Dan mensyukuri bahwa belum seorang pun yang tahu aku memendam perasaan pada Rio.

Karena aku terus diam dan diam, memendam perasaan ini dalam hatiku.

Dan aku takut, bila aku memunculkan rasa ini ke permukaan, Rio akan menjauhiku.

Lagi-lagi, aku hanya bisa diam.

-

Apa kamu benar-benar menganggapku tak berharga?
Apa kamu tak pernah memikirkanku, walaupun hanya sedikit?
DAN APAKAH AKU HARUS TERLEBIH DAHULU MENGIBARKAN BENDERA PERANG HANYA UNTUK MENDAPATKAN PERHATIANMU?


Read More......